Jumat, 22 April 2011

Merevitalisasi Ulos Tradisional Batak Yang Hampir Punah

Bagi Restu Alam Pakpahan (37), deretan kain tenun Ulos di galerinya bukanlah kain tenun biasa. Disetiap detail motif tenunan pengrajin kain Ulos ada makna sejarah peradaban budaya orang Batak, tanah tempat kelahirannya. Penggagas revitalisasi kain Ulos tradisional, kelahiran tahun 1974 ini tergerak hatinya untuk kembali membangkitkan Ulos Batak yang hampir punah.

"Ini motif Ulos Mangiring, diberikan ke anak agar dia punya adik, kalau yang ini motif Ulos Bintang Meratur yang menggambarkan harapan atau pencapaian" kata Restu.

Sementara dia masih memperlihatkan berbagai macam kain Ulos koleksi di galerinya dia juga menerangkan makna dari masing-masing motif Ulos yang berasal dari daratan tanah Batak itu. Menurut Restu, ada lebih dari 50 jenis motif Ulos, itu pun belum termasuk turunan-turunan motifnya.

Setiap motif Ulos memiliki arti tersendiri, Ulos pada jaman dahulu memang merupakan media untuk doa bagi pemberi dari Tuhan kepada sang penerima. Motif Ulos bagi yang tidak mengenalnya memang terlihat biasa saja, atau bahkan kurang seninya, motifnya hanya berbentuk garis, yang melebar kemudian menyempit. Tapi dibalik motif-motif Ulos ada kekayaan budaya dan peradaban yang penting bagi tanah Batak.

"Kalau yang ini motif Manumpuan, hanya ada tiga orang yang bisa membuatnya di tanah batak tepatnya di Kecamatan Muara, paling sulit membuatnya karena tenun ikat," Ujarnya lagi.

Setiap daerah tertentu di Batak memiliki khasnya sendiri dalam membuat Ulos. Seperti misalnya di Tarutong tekniknya hebat tapi kimia, di Samosir sejarahnya hebat kalau buat Ulos disana sudah pasti laku karena sejarahnya hebat, sedangkan di Muara tidak ada apa-apa, teknik biasa saja tapi dibuat revitalisasi Ulos dengan kekuatan warna alam.

Restu mengungkapkan, saat ini memang masih ada penenun Ulos tapi banyak yang hanya bisa menenun, tidak bisa membuat tenun ikat, bahan untuk membuat Ulos sendiri adalah katun pada saat sekarang, kalau dulu dibuat dari kapas asli. Pengrajin ulos tradisi sudah sedikit jumlahnya karena tidak laku dipasaran dan perlu waktu lama untuk membuatnya. Bila kain Ulos dengan warna kimia bisa dikerjakan selama 2 hari, kain Ulos dengan warna alam yang warnanya berasal dari tumbuh-tumbuhan hanya celup benangnya saja bisa menghabiskan waktu sampai 3 minggu, ditambah menenunnya 2 hari. Artinya usaha untuk menenun kain Ulos tradisional memang sangat tidak sepadan dengan harga penjualan Ulos itu sendiri. Kain Ulos dengan pewarnaan kimia hanya dihargai Rp.250 ribu, itu pun sudah termasuk modalnya semua.

Maka sejak tahun 2010 lalu, Restu mulai melakukan revitalisasi Ulos tradisional Batak. Jiwanya makin terpangil saat seorang antropolog asal Belanda, Alumni Universitas Leiden, Sandra Niessen, memberikan buku hasil penelitian gelar doktornya mengenai tekstil tradisional di tanah Batak, dimana Sandra menginginkan agar hasil penelitiannya tersebut bermanfaat dan bisa dipelajari oleh orang Batak sendiri untuk mengenal dan melestarikan dan kembali membuat Ulos seperti sehebat dulu.

Ulos atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera. Dari bahasa asalnya, Ulos berarti kain. Cara membuat Ulos serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan alat tenun bukan mesin. Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak.


Sebagian besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja, Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang, karena motif Ulos yang diminta hanya yang itu-itu saja. Permintaan pasar, pemangkasan-pemangkasan adat, kecintaan generasi muda di tanah Batak sendiri terhadap kain Ulos yang juga semakin berkurang membuat tenun ikat maupun tenun Ulos ini semakin mendekati kepunahannya.


Saat ini ada sekitar 80 penenun yang rata-rata berusia antara 40-50 tahun yang akan dibina, sementara menurut Restu, bagi generasi muda lebih banyak yang tertarik untuk pergi bekerja ke Batam untuk mencari uang. Dengan bantuan forum anak dan kerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, diharapkan akan ada generasi penerus yang sadar untuk lebih mengenal dan melestarikan kekayaan budaya peradabannya.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari mengungkapkan jenis antik dan klasik dari Ulos Batak saat ini memang sudah sangat langka. Sehingga menurut dia budaya menenun Ulos harus dibangkit kembali. "Saat ini perhatian kepada tenun ulos sudah sangat kurang di kampungnya karena dianggap pekerjaan yang tidak terlalu menghasilkan secara ekonomi, padahal secara budaya ini sangat tinggi," imbuhnya, prihatin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar