Minggu, 15 April 2012

Perempuan di Tengah Belitan Iklim

Cuaca ekstrem menurunkan hasil tangkapan nelayan Demak. Perempuan tampil sebagai penyelamat ekonomi keluarga.

DEMAK - Selepas azan ashar, panas matahari masih menyengat di Desa Morodemak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Masnuah, warga desa yang tinggal dipesisir ini menyalakan tipas angin dirumahnya mengibas-ngibas tubuhnya yang kegerahan. Sejak awal bulan, hujan jarang turun. "Empat tahun belakangan ini, cuaca jadi tidak menentu," katanya, pada pertengahan Desember lalu.

Perempuan berusia 37 tahun ini masih ingat, musim hujan seharusnya masuk November hingga Maret. Sementara, kemarau berlangsung pada April sampai Oktober.  Cuaca yang tidak bisa diprediksi ini menurunkan hasil tangkapan ikan para nelayan.

Maklum, ketika di tengah laut tiba-tiba langit menghitam dan hujan mulai turun.  Alhasil, mereka harus pulang dengan tangan kosong. Padahal, lima tahun lalu nelayan begitu mudah mendapat tongkol, tenggiri dan ikan lain menjelang musim hujan.

"Perubahan iklim ini sangat berpengaruh terhadap nelayan," kata Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Kabupaten Demak, Muhtar KM. Ombak besar menggagalkan nelayan melaut.  Berbeda dengan petani, katanya, yang menyiasati kondisi ini dengan pengaturan pola tanam, mulai dari padi, palawija dan hortikultura.

Merosotnya pendapatan nelayan berpengaruh pada ekonomi rumah tangga. Para istri nelayan akhirnya menjadi korban. Mereka wara-wiri mencari utang dan menggadaikan barang pada saat suaminya tak melaut atau cuma dapat beberapa ikan.

"Hanya melaut pekerjaan andalan masyarakat pesisir, keterampilan lain tak punya," ujar Masnuah. Dia menilai kultur patriaki di Morodemak sebagai biang keladi.

Tini Sastra, dari Kelompok LSM Solidaritas Perempuan menjelaskan kultur patriarki  merupakan sistem sosial dimana para lelaki mengontrol keluarga, pemilikan tanah dan sumber-sumber ekonomi lain, serta sebagai pengambil keputusan utama. Kultur ini menganggap laki-laki lebih unggul dan harus mengontrol kaum perempuan.

Tidak hanya itu, tambah Tini,  kultur ini kadang menjadi dasar kontrol, penindasan, dan eksploitasi perempuan di ranah publik dan privat. Dia mencatat lima bentuk ketidakadilan gender, antara lain dominasi, marginalisasi perempuan, diskriminasi, streotyping (pelabelan), kekerasan, dan beban ganda."Pada sisi lain, banyak kebijakan pemerintah yang buta gender," kata Tini.

Pemerintah tidak mengakomodir dan mempertimbangkan pengalaman perempuan sebagai kelompok yang dekat dengan sektor pangan. Malahan sejumlah program makin melemahkan dan menimbulkan ketidakadilan serta memarginalkan perempuan. Tini menyebut liberalisasi perdagangan yang berakibat pada membanjirnya pangan dari luar negeri.

Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, perempuan memang menjadi kelompok rentan. Kebijakan iklim pemerintah, ujar Tini, cendrung kepada isu-isu mitigasi yang berpotensi mengurangi sumber-sumber pangan masyarakat seperti REDD (Reduction Emission from Degradation dan Forest Deforestation), biofuel  dan lainnya.

"Mereka harus diberdayakan," kata Masnuah.

Sebelumnya keinginannya amat tidak didukung, ketika mengajak perempuan-perempuan di Desa Morodemak untuk aktif dalam kelompok, meski untuk melakukan kegiatan peningkatan perekonomian keluarga. Paradigma budaya di Morodemak, terutama bagi masyarakat pesisir yang masih kental budaya patriarkinya menganggap perempuan yang banyak keluar rumah sebagai perempuan yang kurang baik.

Pelabelan yang kurang baik itu juga sempat menghampirinya, Masnuah memang terbilang aktif untuk seorang perempuan. Dia rajin mengikuti pelatihan-pelatihan dari kelompok LSM seperti pelatihan untuk pembibitan penanaman Mangrove, dan pengolahan sampah di kawasan pesisir. Dia juga sempat mengikuti kajian bidang hukum yang dilakukan oleh LBH Semarang.

Maka tak heran jika jiwa kritisnya muncul. Perempuan yang menikah pada 1992 ini tak bisa menunggu lagi, melihat ketimpangan yang terjadi di desanya. Perempuan sering menjadi sasaran Kekesaran Dalam Rumah Tangga (KDRT) akibat kesulitan ekonomi.

"Tingkat KDRT disini tinggi sekali, saya tidak suka diam menunggu, terutama saat kondisi ekonomi sulit," ungkap Masnuah, bernada serius.

Tak jarang dia mendapat ancaman dari lingkungan sekitarnya, Masnuah dianggap turut campur kehidupan rumah tangga orang lain. Tapi hati nuraninya mengatakan dirinya benar, hanya ingin membela hak korban.

Keluarga, suami, dan mertuanya pun khawatir. Kemudian sedikit demi sedikit penjelasan Masnuah meredam kekhawatiran. Sekarang upaya Masnuah justru didukung keluarganya. Meski bukan dari kalangan orang hukum. Perempuan yang menolak memberitahu pendidikannya ini mengatakan dibelakangnya terdapat orang-orang hukum yang siap membantu.

Pada Desember 2005, Masnuah memulai inisiatif membentuk kelompok perempuan nelayan bernama Puspita Bahari. Misi organisasi ini  adalah menjadikan perempuan sebagai kelompok yang mandiri melalui kegiatan pemberdayaan dan peningkatan ekonomi, kelompok perempuan nelayan ini juga mendampingi kasus KDRT dibelakangi bantuan LBH Semarang dan LBH Apik.

Bagi Masnuah, sesungguhnya pendukung perikanan seperti pengolahan, produksi, sampai menjual semua perempuan yang mengerjakan. Sampai pada saat bapak-bapak nelayan pergi melaut, semua persiapan bekal perempuan yang melakukan.

"Selama ini yang diidentikan nelayan adalah laki-laki, padahal perempuan dikawasan pesisir juga bisa disebut nelayan," ujarnya.

Kelompok perempuan nelayan mulai membuat koperasi dengan cara menberikan iuran Rp. 1000 per bulan untuk setiap anggota. Masnuah keliling Desa Morodemak, mengajak perempuan-perempuan di desanya menabung untuk menghadapi musim paceklik.

Langkahnya terhenti, karena banyak anggota koperasi yang menunggak. "Para istri menghabiskan uang untuk membayar utang  atau arisan. Padahal hal itu justru memutar kembali utangnya," katanya.

Kelompok ini kemudian beralih menjadi koperasi beras. Lagi-lagi, kegiatannya mandek karena tak cukup modal. Keadaan sedikit berubah ketika pada 2009, kelompok perempuan nelayan ini memulai usaha mengolah hasil laut menjadi kerupuk ikan, yang terbuat dari bahan dasar tepung tapioka, ikan, bumbu, dan air.

Mereka diberi fasilitas oleh LPUBTN (Lembaga Pendampingan Usaha Buruh Tani Nelayan). Lembaga ini menyumbang  peralatan dan tempat produksi dari bambu.  Sayang, oada tahun ketiga, usaha ini oleng karena bangunannya hancur oleh angin puting beliung yang melanda Demak belum lama ini.

Pengolahan produksi kemudian dilakukan di rumah Masnuah dan seorang anggota lainnya.  "Kerupuk ikan sebetulnya menjadi budaya olahan di Morodemak," kata Masnuah yang baru saja mendapat penghargaan Kusala Swadaya sebagai pelaku kelompok wirausaha sosial.

Masnuah memimpikan, kelompoknya bisa memiliki tempat produksi yang layak. Saat ini belum ada bantuan dari pemerintah, baik dari Dinas Perikanan dan Kelautan  maupun Dinas Perdagangan. Bantuan malah datang dari organisasi non-pemerintah berupa tiga kapal dari LBH Apik, Kiara, dan Dompet Dhuafa. Kapal itu dipakai melaut oleh para suami anggota Kelompok Nelayan Perempuan Puspita Bahari.

Kami berharap, kata Masnuah, pemerintah membantu membangun tempat pengolahan atau pengalengan ikan sehingga saat panen ikan tidak ada yang terbuang. Saat ini,  ada 10 anggota yang mengelola produksi kerupuk ikan dengan cara manual. Satu bungkus dijual dengan harga Rp 5.000. Dalam sehari kelompok ini memproduksi 25 kg ikan dengan laba kotor Rp 500.000.

Memang, produksi kerupuk ikan tidak bisa dilakukan setiap hari karena tergantung pada cuaca dan bahan ikan.  Namun dengan usaha ini tidak ada ikan yang terbuang pada saat panen. Selain untuk kerupuk, ikan-ikan itu juga untuk ikan asin, tepung ikan dan abon ikan.

Lebih dari itu, tak ada lagi perempuan nelayan warga desa yang menganggur. "Saat musim paceklik nelayan masih bisa mendapatkan penghasilan," kata Masnuah. [dyah ayu pamela]

Cuaca Berulah, Pak Tani Tak Lagi Resah

DEMAK - Hari sudah siang, Asmuni terus mengitari sawahnya yang ditumbuhi padi berwarna hijau. Warga Desa Tempura, Kabupaten Demak ini harus waspada jika ada wereng coklat menempel di tanamannya yang baru berumur beberapa bulan. "Cuaca lembab seperti saat ini wereng cepat berkembang biak," katanya, pertengahan Desember
lalu.

Anomali iklim yang terjadi sekitar 4 tahun terakhir ini membuat hama wereng jadi ancaman tersendiri.Cuaca yang mendadak panas, lalu dingin membuat kelembaban makin tinggi. Kondisi ini membuat telur wereng cepat menetas dan dalam waktu tiga sampai tujuh hari, menyebar dengan cepat.

"Kalau sudah demikian, hama tersebut menghancurkan lahan pertanian milik warga yang menanam padi sepanjang musim," kata Sriyono, Ketua Perhimpunan Penyuluh Pertanian di Kabupaten Demak.

Sriyono masih ingat cuaca yang tidak menentu itu baru terjadi sekitar 4-5 tahun terakhir buntutnya akan rentan untuk hama wereng mewabah. Dia tidak paham apakah anomali cuaca ini bagian dari perubahan iklim atau bukan.

Kepala Bidang Data dan Informasi BMKG Jawa Tengah, Evi Lutfiati mengakui saat ini memang sudah terjadi pergeseran musim di sekitar Jawa Tengah, termasuk Demak. "Memang belum signifikan." Data statistik di Demak, puncak musim hujan terjadi sejak Desember - Februari. Pada tahun 2010, musim hujan terjadi dengan intensitas tinggi. Setahun berikutnya musim hujan intensitasnya berkurang."Cuaca yang berubah-ubah ini merupakan variabilitas iklim," katanya.

Tentunya, awal musim di setiap tahun belum tentu sama, kadang maju dan mundur. Variabilitas iklim yang terjadi sekarang, kata Evi, merupakan tanda-tanda menuju perubahan iklim yang sangat luas. Untuk membuktikan, harus didukung data-data dari kondisi iklim 30-100 tahun.

Dari data BMKG Jawa Tengah, selama 30 tahun terakhir ada tren perubahan temperatur suhu yang rata-rata naik sekitar 0,2 derajat celcius. Kecenderungan ini, kata Evi, salah satu tahapan menuju terjadinya perubahan iklim yang ditandai dengan variabilitas iklim, anomali iklim, kemudian penyimpangan iklim.

Lantas, apa yang dilakukan Asmuni, Sriyono dan ribuan petani Demak mengatasi anomali iklim ? "Dengan melakukan pola tanam yang tepat, petani di Kabupaten Demak terhindar dari serangan hama wereng," kata Sriyono.

Rata-rata petani yang sawahnya terserang hama wereng disebabkan menanam padi terus-menerus sepanjang musim sehingga tidak ada pemutus rantai hama wereng untuk berkembang. Padahal wereng menjadikan padi sebagai inang atau tempat hidup.

Sebaliknya, petani yang menanam secara berselang-seling dengan palawaija terhindar dari musibah. Pada musim tanam pertama saat musim hujan, petani menanam padi. Pada musim tanam kedua, menanam palawija. Lalu pada musim tanam ketiga atau saat kemarau, petani menanam kacang hijau yang hanya membutuhkan air sedikit.

Beruntung, model semacam itu sudah dilembagakan dalam bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Demak tentang Pengaturan Pola Tanam. "Petani mengikuti aturan itu dan terhindar dari wereng," kata Sriyono.

Siasat lain yang dilakukan petani untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan memakai varietas padi tahan wereng dan melakukan gilir varietas. Jadi, pada musim tanam kemarin menggunakan varietas padi IR16. Nah, pada masa tanam padi berikutnya memakai varietas Ciherang, kemudian Mikongga. Selain itu, mereka membakar tumpukan jerami sisa panen agar wereng tidak berkembang lagi di lahan pertanian.

Tak hanya itu, para petani juga memperhatikan soal pemupukan. Saat musim hujan misalnya, mereka tidak memberi pupuk urea karena kelembaban lebih tinggi sehingga jamur, bakteri dan wereng akan berkembang. Para petani juga belajar dari pengalaman, bila musim hujan masih cukup panjang mereka menanam jenis padi-padi yang umurnya pendek.

Aneka siasat menghadapi dampak negatif perubahan iklim berbuah hasil. Pada 2010, produksi padi Demak mengalami kenaikan 5,8% dengan hasil 580.000 ton gabah kering. Angka ini melewati target nasional dari pemerintah sebesar 5%. Padahal untuk konsumsi warga Demak cuma 170.000 ton.

Setahun berikutnya, Demak dianugrahi Setya Lencana Winakarya 2011, penghargaan dari pemerintah pusat sebagai salah satu kabupaten terbaik karena berhasil meningkatkan panen padi melebihi target. Demak juga tetap menjadi salah satu daerah penyangga pangan nasional, setelah Cilacap dan Grobokan.

Kabupaten Demak yang luasnya 89.743 ha, memiliki lahan sawah seluas 50.853 ha (56,71%) dan lahan kering 38.850 ha. Lahan sawah tadah hujan sebanyak 17.725 ha (19,75%) dan sawah teknis sebesar 18.379 ha (20,48%). Ada empat komoditas utama yang ditanam yaitu, padi, jagung, kedelai, dan kacang hijau.

Petani Demak juga beruntung karena air irigasi dari Waduk Kedungombo terus mengalir, meskipun musim kemarau. Pada musim itu, 17.725 ha sawah tadah hujan tetap dapat mengolah lahannya untuk ditanami komoditas kacang hijau dan holtikultura karena tidak membutuhkan banyak air.

Sejak 1996, para petani menanam kacang hijau pada musim tanam ketiga. Kini, produksi kacang hijau mencapai 1,6 ton/ha dari hanya 9 kwintal/ha setelah menerapkan efisiensi cara menanam dengan sistem jajar legowo atau model jarak tanam. Komoditas kacang hijau di Demak ini menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.

Pertanian juga subur makmur di daerah pesisir, Demak bagian timur. Para petani menanam melon dan semangka, mengikuti jejak Isam. Menurut Sriyono, sebelumnya tanah di wilayah pesisir ini dibiarkan terlantar. Kacang hijau tidak bisa ditanami karena pengaruh angin laut.

Baru setelah Isam berhasil menanam melon dan semangka, warga lain mengikutinya. Selain surplus padi dan kacang hijau, buah-buahan Demak terkenal karena rasanya yang manis. Mulai dari belimbing, jambu, semangka dan melon. Komoditas lain yang moncer adalah berambang (bawang merah) yang ditanam pada musim tanan ketiga. Bawang ini diminati warga Jakarta karena aromanya menyengat dan rasanya renyah.

Melimpahnya hasil pertanian di Demak tak lepas dari peran teknologi. Para petani menggunakan traktor untuk mengolah sawah akibatnya petani dan buruh tani pria tidak memiliki pekerjaan. Banyak diantara mereka yang akhirnya beralih profesi menjadi buruh bangunan atau komuter ke daerah lain menjadi buruh pabrik. Siapa yang menyiangi lahan, matun, menyerumput, dan mengetam padi ? Petani perempuan yang melakukan semua tugas ini. *dyah ayu pamela*
-----

Nostalgia di Kota Lama Semarang

SEMARANG – Roda becak mulai bergerak, dikayuh pelan seorang bapak tua.  Di kanan kiri bahu jalan melintas bangunan-bangunan tua, usang, tak terawat. Beberapa bangunan yang sepertinya sudah direnovasi digunakan sebagai kantor, restoran, toko, maupun rumah tinggal. Ada yang digunakan sebagai pabrik rokok, tapi kebanyakan dibiarkan begitu saja. Inilah sudut yang dulunya adalah pusat pemerintahan dan pusat perdagangan di Kota Semarang. 

Seperti Jakarta yang memiliki Kota Tua, Semarang pun punya sudut dimana ada peninggalan bangunan arsitektur sejarah yang dulu merupakan pusat kota pada masa pemerintahan Hindia-Belanda. Di Semarang orang-orang menyebutnya Kota Lama. 

Pemandangan bangunan tua bersejarah layaknya nostalgia ke masa lalu menjadi suguhan yang menarik ketika berkunjung ke kawasan ini. Kalau di Kota Tua, Jakarta kita bisa berkeliling menggunakan sepedah ontel, atmosfer masa lalu kian terasa  bila mengitari kawasan seluas hampir 25 Hektar ini  dengan menyewa becak.

Diantara bangunan tua yang masih terlihat kokoh dan masih digunakan sebagai tempat perkantoran, hotel, toko, dan rumah tinggal ini ada banyak tempat yang bisa dikunjungi. di Kawasan yang  berlokasi di utara kota Semarang ini terdapat gereja Blenduk, tempat ibadah yang masih banyak menyimpan alat-alat kono ini sangat terkenal karena bentuk kubahnya yang bundar tidak seperti gereja kebanyakan. Disebelahnya ada taman rindang yang ramai dikunjungi para remaja usia sekolah. 

Agak jauh dari lokasi ini ada danau buatan, didepannya terdapat Stasiun Kereta Api Tawang . tempat lain yang juga bisa dikunjungi adalah Gereja Gedangan, Nilmij, Taman Sri Gunting, Marba, Marabunta dan De Spiegel. Cuacanya memang panas jika berkeliling pada siang hari, tentunya suasana akan berbeda jika dikunjungi pada malam hari. Belum banyak pedagang yang berseliweran di tempat ini.

Ada nilai sejarah, arsitektur dan budaya dalam peninggalan bangunan-bangunan kusam ini. Tentunya kawasan ini harus dijaga. Pemerintah Kota Semarang melalui Wali Kota telah menunjuk organisasi sosial Badan Pengelola Kawasan Kota Lama Semarang untuk mempertahankan kawasan ini. 

“Karena daerah ini adalah salah satu bagian sejarah bangsa Indonesia, maka harus dirawat lestarikan agar tidak hancur,” sebut Kepala Badan Pengelola Kawasan Kota Lama Semarang, Surahman.

Menurut Surahman, kawasan Kota Lama dulunya adalah pusat pemerintahan juga perdagangan di Semarang. Bahkan kawasan ini juga merupakan tempat rekreasi dan hiburan orang jaman Belanda. Dengan perkembangan revolusi tempat ini adalah penyalur gula terbesar.

Kemudian setelah masa penjajahan Jepang berkuasa di Indonesia dan banyak orang Belanda yang kembali kenegaranya banyak banguna-bangunan di kawasan Kota Lama yang ditinggalkan oleh pemiliknya. Akhirnya bangunan-bangunan di kawasan Kota Lama ini ada yang dilimpahkan kepada beberapa PT dan CV, ada salah satu gedung yang roboh memang sempat bermasalah karena tidak ada pemiliknya.

Untuk sementara bangunan-bangunan tanpa pemilikan yang jelas ini di tangani oleh Pengelola Kawasan Kota Lama, organisasi social yang ditunjuk Wali Kota sebagai partner. Upaya untuk merenovasi bangunan yang rentan roboh  sepertinya akan segera direalisasikan oleh pemerintah tingkat I Jawa Tengah. Harapannya, pada waktu yang akan datang antara Provinsi, Kota dan masyarakat penghuni sekitar kawasan Kota Lama ada greget untuk melestarikan. 

“Sesuai perencanaan kerja, kami ikut mengawasi dan memberdayakan, supaya kawasan
ini terjaga,” tutup Surahman. *dyah ayu Pamela*