Minggu, 15 April 2012

Cuaca Berulah, Pak Tani Tak Lagi Resah

DEMAK - Hari sudah siang, Asmuni terus mengitari sawahnya yang ditumbuhi padi berwarna hijau. Warga Desa Tempura, Kabupaten Demak ini harus waspada jika ada wereng coklat menempel di tanamannya yang baru berumur beberapa bulan. "Cuaca lembab seperti saat ini wereng cepat berkembang biak," katanya, pertengahan Desember
lalu.

Anomali iklim yang terjadi sekitar 4 tahun terakhir ini membuat hama wereng jadi ancaman tersendiri.Cuaca yang mendadak panas, lalu dingin membuat kelembaban makin tinggi. Kondisi ini membuat telur wereng cepat menetas dan dalam waktu tiga sampai tujuh hari, menyebar dengan cepat.

"Kalau sudah demikian, hama tersebut menghancurkan lahan pertanian milik warga yang menanam padi sepanjang musim," kata Sriyono, Ketua Perhimpunan Penyuluh Pertanian di Kabupaten Demak.

Sriyono masih ingat cuaca yang tidak menentu itu baru terjadi sekitar 4-5 tahun terakhir buntutnya akan rentan untuk hama wereng mewabah. Dia tidak paham apakah anomali cuaca ini bagian dari perubahan iklim atau bukan.

Kepala Bidang Data dan Informasi BMKG Jawa Tengah, Evi Lutfiati mengakui saat ini memang sudah terjadi pergeseran musim di sekitar Jawa Tengah, termasuk Demak. "Memang belum signifikan." Data statistik di Demak, puncak musim hujan terjadi sejak Desember - Februari. Pada tahun 2010, musim hujan terjadi dengan intensitas tinggi. Setahun berikutnya musim hujan intensitasnya berkurang."Cuaca yang berubah-ubah ini merupakan variabilitas iklim," katanya.

Tentunya, awal musim di setiap tahun belum tentu sama, kadang maju dan mundur. Variabilitas iklim yang terjadi sekarang, kata Evi, merupakan tanda-tanda menuju perubahan iklim yang sangat luas. Untuk membuktikan, harus didukung data-data dari kondisi iklim 30-100 tahun.

Dari data BMKG Jawa Tengah, selama 30 tahun terakhir ada tren perubahan temperatur suhu yang rata-rata naik sekitar 0,2 derajat celcius. Kecenderungan ini, kata Evi, salah satu tahapan menuju terjadinya perubahan iklim yang ditandai dengan variabilitas iklim, anomali iklim, kemudian penyimpangan iklim.

Lantas, apa yang dilakukan Asmuni, Sriyono dan ribuan petani Demak mengatasi anomali iklim ? "Dengan melakukan pola tanam yang tepat, petani di Kabupaten Demak terhindar dari serangan hama wereng," kata Sriyono.

Rata-rata petani yang sawahnya terserang hama wereng disebabkan menanam padi terus-menerus sepanjang musim sehingga tidak ada pemutus rantai hama wereng untuk berkembang. Padahal wereng menjadikan padi sebagai inang atau tempat hidup.

Sebaliknya, petani yang menanam secara berselang-seling dengan palawaija terhindar dari musibah. Pada musim tanam pertama saat musim hujan, petani menanam padi. Pada musim tanam kedua, menanam palawija. Lalu pada musim tanam ketiga atau saat kemarau, petani menanam kacang hijau yang hanya membutuhkan air sedikit.

Beruntung, model semacam itu sudah dilembagakan dalam bentuk Peraturan Daerah Kabupaten Demak tentang Pengaturan Pola Tanam. "Petani mengikuti aturan itu dan terhindar dari wereng," kata Sriyono.

Siasat lain yang dilakukan petani untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim dengan memakai varietas padi tahan wereng dan melakukan gilir varietas. Jadi, pada musim tanam kemarin menggunakan varietas padi IR16. Nah, pada masa tanam padi berikutnya memakai varietas Ciherang, kemudian Mikongga. Selain itu, mereka membakar tumpukan jerami sisa panen agar wereng tidak berkembang lagi di lahan pertanian.

Tak hanya itu, para petani juga memperhatikan soal pemupukan. Saat musim hujan misalnya, mereka tidak memberi pupuk urea karena kelembaban lebih tinggi sehingga jamur, bakteri dan wereng akan berkembang. Para petani juga belajar dari pengalaman, bila musim hujan masih cukup panjang mereka menanam jenis padi-padi yang umurnya pendek.

Aneka siasat menghadapi dampak negatif perubahan iklim berbuah hasil. Pada 2010, produksi padi Demak mengalami kenaikan 5,8% dengan hasil 580.000 ton gabah kering. Angka ini melewati target nasional dari pemerintah sebesar 5%. Padahal untuk konsumsi warga Demak cuma 170.000 ton.

Setahun berikutnya, Demak dianugrahi Setya Lencana Winakarya 2011, penghargaan dari pemerintah pusat sebagai salah satu kabupaten terbaik karena berhasil meningkatkan panen padi melebihi target. Demak juga tetap menjadi salah satu daerah penyangga pangan nasional, setelah Cilacap dan Grobokan.

Kabupaten Demak yang luasnya 89.743 ha, memiliki lahan sawah seluas 50.853 ha (56,71%) dan lahan kering 38.850 ha. Lahan sawah tadah hujan sebanyak 17.725 ha (19,75%) dan sawah teknis sebesar 18.379 ha (20,48%). Ada empat komoditas utama yang ditanam yaitu, padi, jagung, kedelai, dan kacang hijau.

Petani Demak juga beruntung karena air irigasi dari Waduk Kedungombo terus mengalir, meskipun musim kemarau. Pada musim itu, 17.725 ha sawah tadah hujan tetap dapat mengolah lahannya untuk ditanami komoditas kacang hijau dan holtikultura karena tidak membutuhkan banyak air.

Sejak 1996, para petani menanam kacang hijau pada musim tanam ketiga. Kini, produksi kacang hijau mencapai 1,6 ton/ha dari hanya 9 kwintal/ha setelah menerapkan efisiensi cara menanam dengan sistem jajar legowo atau model jarak tanam. Komoditas kacang hijau di Demak ini menjadi yang terbesar di Asia Tenggara.

Pertanian juga subur makmur di daerah pesisir, Demak bagian timur. Para petani menanam melon dan semangka, mengikuti jejak Isam. Menurut Sriyono, sebelumnya tanah di wilayah pesisir ini dibiarkan terlantar. Kacang hijau tidak bisa ditanami karena pengaruh angin laut.

Baru setelah Isam berhasil menanam melon dan semangka, warga lain mengikutinya. Selain surplus padi dan kacang hijau, buah-buahan Demak terkenal karena rasanya yang manis. Mulai dari belimbing, jambu, semangka dan melon. Komoditas lain yang moncer adalah berambang (bawang merah) yang ditanam pada musim tanan ketiga. Bawang ini diminati warga Jakarta karena aromanya menyengat dan rasanya renyah.

Melimpahnya hasil pertanian di Demak tak lepas dari peran teknologi. Para petani menggunakan traktor untuk mengolah sawah akibatnya petani dan buruh tani pria tidak memiliki pekerjaan. Banyak diantara mereka yang akhirnya beralih profesi menjadi buruh bangunan atau komuter ke daerah lain menjadi buruh pabrik. Siapa yang menyiangi lahan, matun, menyerumput, dan mengetam padi ? Petani perempuan yang melakukan semua tugas ini. *dyah ayu pamela*
-----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar