Bagi Restu Alam Pakpahan (37), deretan kain tenun Ulos di
galerinya bukanlah kain tenun biasa. Disetiap detail motif tenunan
pengrajin kain Ulos ada makna sejarah peradaban budaya orang Batak,
tanah tempat kelahirannya. Penggagas revitalisasi kain Ulos tradisional,
kelahiran tahun 1974 ini tergerak hatinya untuk kembali membangkitkan
Ulos Batak yang hampir punah.
"Ini motif Ulos Mangiring,
diberikan ke anak agar dia punya adik, kalau yang ini motif Ulos Bintang
Meratur yang menggambarkan harapan atau pencapaian" kata Restu.
Sementara dia masih
memperlihatkan berbagai macam kain Ulos koleksi di galerinya dia juga
menerangkan makna dari masing-masing motif Ulos yang berasal dari
daratan tanah Batak itu. Menurut Restu, ada lebih dari 50 jenis motif
Ulos, itu pun belum termasuk turunan-turunan motifnya.
Setiap
motif Ulos memiliki arti tersendiri, Ulos pada jaman dahulu memang
merupakan media untuk doa bagi pemberi dari Tuhan kepada sang penerima.
Motif Ulos bagi yang tidak mengenalnya memang terlihat biasa saja, atau
bahkan kurang seninya, motifnya hanya berbentuk garis, yang melebar
kemudian menyempit. Tapi dibalik motif-motif Ulos ada kekayaan budaya
dan peradaban yang penting bagi tanah Batak.
"Kalau yang
ini motif Manumpuan, hanya ada tiga orang yang bisa membuatnya di tanah
batak tepatnya di Kecamatan Muara, paling sulit membuatnya karena tenun
ikat," Ujarnya lagi.
Setiap daerah tertentu di Batak memiliki khasnya sendiri dalam membuat Ulos. Seperti misalnya di Tarutong tekniknya hebat tapi kimia, di Samosir sejarahnya hebat kalau buat Ulos disana sudah pasti laku karena sejarahnya hebat, sedangkan di Muara tidak ada apa-apa, teknik biasa saja tapi dibuat revitalisasi Ulos dengan kekuatan warna alam.
Restu mengungkapkan, saat ini
memang masih ada penenun Ulos tapi banyak yang hanya bisa menenun,
tidak bisa membuat tenun ikat, bahan untuk membuat Ulos sendiri adalah
katun pada saat sekarang, kalau dulu dibuat dari kapas asli. Pengrajin
ulos tradisi sudah sedikit jumlahnya karena tidak laku dipasaran dan
perlu waktu lama untuk membuatnya. Bila kain Ulos dengan warna kimia
bisa dikerjakan selama 2 hari, kain Ulos dengan warna alam yang warnanya
berasal dari tumbuh-tumbuhan hanya celup benangnya saja bisa
menghabiskan waktu sampai 3 minggu, ditambah menenunnya 2 hari. Artinya
usaha untuk menenun kain Ulos tradisional memang sangat tidak sepadan
dengan harga penjualan Ulos itu sendiri. Kain Ulos dengan pewarnaan
kimia hanya dihargai Rp.250 ribu, itu pun sudah termasuk modalnya semua.
Maka
sejak tahun 2010 lalu, Restu mulai melakukan revitalisasi Ulos
tradisional Batak. Jiwanya makin terpangil saat seorang antropolog asal
Belanda, Alumni Universitas Leiden, Sandra Niessen, memberikan buku
hasil penelitian gelar doktornya mengenai tekstil tradisional di tanah
Batak, dimana Sandra menginginkan agar hasil penelitiannya tersebut
bermanfaat dan bisa dipelajari oleh orang Batak sendiri untuk mengenal
dan melestarikan dan kembali membuat Ulos seperti sehebat dulu.
Ulos
atau sering juga disebut kain ulos adalah salah satu busana khas
Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak,
Sumatera. Dari bahasa asalnya, Ulos berarti kain. Cara membuat Ulos
serupa dengan cara membuat songket khas Palembang, yaitu menggunakan
alat tenun bukan mesin. Warna dominan pada ulos adalah merah, hitam, dan
putih yang dihiasi oleh ragam tenunan dari benang emas atau perak.
Sebagian
besar ulos telah punah karena tidak diproduksi lagi, seperti Ulos Raja,
Ulos Ragi Botik, Ulos Gobar, Ulos Saput (ulos yang digunakan sebagai
pembungkus jenazah), dan Ulos Sibolang, karena motif Ulos yang diminta
hanya yang itu-itu saja. Permintaan pasar, pemangkasan-pemangkasan adat,
kecintaan generasi muda di tanah Batak sendiri terhadap kain Ulos yang
juga semakin berkurang membuat tenun ikat maupun tenun Ulos ini semakin
mendekati kepunahannya.
Saat ini ada sekitar 80 penenun
yang rata-rata berusia antara 40-50 tahun yang akan dibina, sementara
menurut Restu, bagi generasi muda lebih banyak yang tertarik untuk pergi
bekerja ke Batam untuk mencari uang. Dengan bantuan forum anak dan
kerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak, diharapkan akan ada generasi penerus yang sadar untuk lebih
mengenal dan melestarikan kekayaan budaya peradabannya.
Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari
mengungkapkan jenis antik dan klasik dari Ulos Batak saat ini memang sudah sangat langka. Sehingga menurut dia budaya menenun Ulos harus dibangkit kembali. "Saat ini perhatian kepada
tenun ulos sudah sangat kurang di kampungnya karena dianggap pekerjaan
yang tidak terlalu menghasilkan secara ekonomi, padahal secara budaya
ini sangat tinggi," imbuhnya, prihatin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar