Di pinggir dermaga Pulau Meosmanggara, salah satu pulau di Distrik Waigeo Barat, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat. Sekumpulan anak tengah memancing ikan, tempat dimana terik matahari
menambah silau pemandangan kehidupan dalam laut yang bisa dilihat dengan telanjang mata, pasir putih dibias dengan birunya langit, bening, beragam jenis ikan berenang diatasnya.
Bibir pantai sekitar Pulau Meosmanggara, penuh dengan ikan-ikan yang berenang berkelompok, dengan beberapa anak yang menjadikan laut
sebagai lapangan bermainnya sehabis pulang sekolah. Mereka adalah siswa SD YPK. Matias Yeremia, satu-satunya sekolah yang ada di Meosmanggara.
Kisah mengenai sekolah yang bangunannya sederhana atau terbatas gurunya ternyata bukan hanya cerita di novel Lakar Pelangi, Andrea Hirata. Bagi masyarakat di beberapa pulau di Kabupaten Raja Ampat,
seperti di Pulau Meosmanggara, Manyaifun, Bincai, Mutus, dan Pulau kecil lainnya dengan jumlah penduduk rata-rata 250 hingga 300 orang, keterbatasan fasilitas dan akses pendidikan nyata ada.
Wajar apabila keadaanya demikian, wilayah Kabupaten Raja Ampat sebagian besar adalah kampung-kampung atau desa yang terpisah oleh lautan. Setiap pulau merupakan satu kampung yang hanya dihuni oleh
sekitar 35 Kepala Keluarga. Transportasi laut satu-satunya yang menjangkau penduduk untuk menakses apapun kebutuhan mereka, uniknya sebagian besar informasi di dapat masyarakat masing-masing pulau yang
tidak terjangkau BTS mengenai musyawarah adat maupun berita gempa didapat melalui siaran radio RRI.
Alex Mamrasa, Kepala sekolah SD YPK. Matias Yeremia, mengemukakan salah satu kendala yang dihadapi adalah menyangkut buku-buku pelajaran
yang diberikan oleh Dinas Pendidika yang kadang tidak sesuai dengan kurikulum pendidikan di Kabupaten Raja Ampat. “Tidak sesuai dengan
kurikulum dan tidak relevan, sehingga tidak dipakai, ditinggal saja,” ungkapnya.
Penduduk asli pulau Meosmanggara ini mengungkapkan, sekolah yang sudah 20 tahun berdiri tersebut memiliki 6 guru termasuk dirinya yang mengajar 9 bidang study untuk 90 murid mulai dari kelas satu hingga kelas enam. Namun saat ini hanya ada tiga guru yang aktif mengajar. “Karena sedang mengikuti pelatihan di kota Sorong, sehingga dalam satu guru harus mengajar dua kelas dalam waktu bersamaan,” ujar Alex.
Anak-anak di Pulau Meosmanggara biasa memancing pada siang hari untuk dikonsumsi sendiri, sehingga sekolah hanya dimungkinkan berlangsung pada pagi hingga siang hari. Sekolah dimulai pukul 7.15, untuk siswa kelas satu dan dua mauk hingga pukul 9.30, siswa kelas tiga masuk hingga pukul 11, sedangkan siswa kelas empat hingga enam masuk sekolah hingga pukul 12.30.
Hanya ada sekolah SD di Pulau Meosmanggara, juga Pulau-Pulau kecil lain di Distrik Waigeo Barat Kabupaten Raja Ampat. Seperti di Pulau Manyaifun dan Pulau Bincai yang sekolah SD nya baru berdiri selama 2 tahun. Untuk melanjutkan ke SMP, anak-anak Pulau ini harus menyeberang ke Pulau Mutus dengan jarak tempuh sekitar 30 menit hingga satu jam tergantung kondisi cuaca saat itu. Sedangkan untuk melanjutkan ke SMA anak-anak ini harus ke dekat pusat kota atau ke pulau-pulau besar di Papua Barat dengan jarak tempuh hampir 2 jam dalam kondisi cuaca baik.
Meski mengalami hambatan akses transportasi dan jangkauan, Alex mengungkapkan ada juga anak didiknya yang berhasil menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi. “Sekarang saya punya anak didik yang sudah
semester tujuh, ada tiga,” ungkapnya lagi.
Saat ini diungkapkannya fasilitas olah raga di sekolahnya sudah mencukupi, namun butuh permainan alat peraga untuk bidang studi matematika. “Kalau kelass atu dan dua kan kita menuju yang matematis,” ujar Alex.
Kabupaten Raja Ampat memiliki 610 pulau. Empat terbesar diantaranya yakni Pulau Misool, Salawati, Batanta, dan Waigeo. Dari seluruh pulau hanya 35 pulau yang berpenghuni, sedangkan pulau lainnya tidak berpenghuni dan belum memiliki nama. Sebagai daerah kepulauan, satu-satunya transportasi antar pulau dan penunjang kegiatan masyarakat Raja Ampat adalah angkutan laut. (dyah pamela)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar